Terbaru

Bagaimana Pemimpin Politik dapat Berperan Menjaga Kelestarian Alam?




Tahun 2017, 2018 dan 2019 boleh dikatakan sebagai tahun Pemilihan Umum (PEMILU).  Sekarang kita berada di tahapan PEMILU PILRES 2019 yang akan memilih anggota legislatif dan presiden beserta wakilnya. Tentu ini bukan pengalaman pertama kita melaksanakan PEMILU langsung, dan sebagaimana lazimnya, kampanye-kampanye “colongan” yang didelegasikan dalam bentuk poster, baliho, spanduk, dan lain sebagainya mulai marak dijumpai, dengan beberapa ciri yang sama, selalu ada gambar si calon dengan posisi gagah versi mereka, tersenyum, dan jargon “keakuan”.

 

Hiruk pikuk kancah perpolitikan sering membuat kita lupa akan ancaman yang bisa saja memupus kehidupan kita setiap saat, euforia dan senyuman calon pimpinan daerah tidak dirasakan oleh saudara-saudara kita yang tertimpa bencana ekologis, mereka harus kehilangan harta benda, bahkan nyawa. Kebakaran lahan dan hutan (KARLAHUT), banjir, kekeringan, pencemaran limbah, dan lain sebagainya seakan tidak mau lepas dari kehidupan kita, mereka berkembang seiring dinamika kehidupan manusia, berdampak kumulatif dengan gejala-gejala yang terkadang luput dari pantauan. Sehingga pada akhirnya, upaya kuratif nan boros sumber daya menjadi pilihan.

 

Bencana ekologis semakin diperparah dengan buruknya mental pimpinan daerah, khususnya korupsi, sebagaimana pernah disampaikan oleh Prof. Dr. T. Jacob (Guru Besar Antropologi Universitas Gajah Mada) bahwa kekacauan politik, tiadanya kepastian hukum, berikut penegakannya yang tidak tegak-tegak juga, membuat para pencuri (kleptokrat) bergentayangan di segala lapisan lini kehidupan, menjadi suatu tragedi yang beliau sebut “Tragedi Negara Kesatuan Kleptokratis” [1]. Contoh teranyar yang relevan adalah kasus yang menimpa mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, yang resmi menjadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena melakukan penyalahgunaan wewenang dalam pemberian izin pertambangan nikel di dua kabupaten di Sulawesi Tenggara. KPK menduga Nur Alam menerima pemberian dari pihak swasta dalam setiap penerbitan izin pertambangan yang dikeluarkan tanpa mengikuti aturan yang berlaku [2].

 

Prof. Dr. Hariadi Kartodihardjo (guru besar kebijakan kehutanan Institut Pertanian Bogor) dalam salah satu orasi ilmiahnya pernah menyampaikan tentang pentingnya posisi cara berpikir dalam menelusuri sebab berbagai permasalahan lingkungan dan SDA yang terjadi selama ini, karena perubahan tindakan secara mendasar hampir mustahil dapat dilakukan tanpa perubahan cara berpikir [3]. Saya setuju dengan pendapat beliau, dalam konteks hari ini, kita bisa melihat suatu ironi, bagaimana cara berpikir yang dipadu dengan ilmu pengetahuan dan narasi kebijakan telah banyak disalahgunakan untuk menjamin kepentingan individu dan kelompok. Pada akhirnya, rakyat yang kembali harus menanggung akibatnya.

 

Cara berpikir yang mengedepankan prinsip-prinsip ekologis, atau nalar ekologis, dalam setiap perencanaan maupun pelaksanaan proses pembangunan mutlak diperlukan. Tantangan terbesar adalah munculnya situasi dilematis mengenai kontestasi ekonomi dan ekologi, di satu sisi kita harus menggesa proses pembangunan, tapi di sisi lain, kelestarian lingkungan hidup telah nyata dikorbankan. Diperlukan pemimpin moderat dengan keteguhan dan integritas yang kuat. Lewat bukunya yang berjudul “Curse to Blessing”, Prof. Rhenald Kasali, Ph.D (guru besar manajemen Universitas Indonesia) menggugah kesadaran kita bahwa faktor kepemimpinan yang kuat mampu membawa masyarakat pada konsep pembangunan berkelanjutan. Beliau memaparkan fenomena kutukan sumber daya alam yang terjadi pada daerah atau Negara yang kaya sumber daya alam, ditandai dengan pertumbuhan perekonomian mereka yang tidak semaju daerah atau Negara yang tidak memiliki kekayaan alam. Bahkan kekayaan alam yang dimiliki justru membawa masyarakat dalam kondisi penuh konflik dan hidup miskin. Sebagai contoh daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, seperti penghasil batubara di Kalimantan, atau penghasil emas di Sulawesi dan Papua, justru berada dalam gelombang kemiskinan. Bahkan daerah yang walaupun lumbung energi, kondisi listriknya tidak bisa diandalkan untuk terus menyala 24 jam.

 

Seperti dalam semua bukunya, Prof. Rhenald Kasali, Ph.D selalu menampilkan praktik-praktik terbaik yang dibalut dengan teori-teori yang relevan. Buku yang diterbitkan oleh Mizan pada tahun 2016 ini berkisah tentang bagaimana Kabupaten Bojonegoro yang pernah menjadi daerah miskin di Jawa Timur berubah menjadi daerah dengan pembangunan paling pesat. Perubahan yang terjadi di Kabupaten Bojonegoro tidak lepas dari sosok pemimpin yang inovatif. Bupati Bojonegoro, Suyoto (Kang Yoto), membuat potensi Bojonegoro dapat dimaksimalkan. Sebagai contoh, beliau menyisihkan pendapatan MIGAS sebagai dana abadi untuk pendidikan generasi mendatang di Bojonegoro dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia sehingga ke depan Bojonegoro bisa berinovasi mencari pengganti minyak. Suyoto sadar betul kondisi daerah yang dipimpinnya. Ia pun belajar dari daerah lain yang tertimpa “kutukan” akibat kekayaan sumber daya alam. Menurut dia, sebanyak apapun sumber daya alam pastilah suatu hari akan habis juga. Suyoto juga berkaca pada negara-negara miskin sumber daya alam tapi bisa memakmurkan diri. Negara yang dimaksud adalah Singapura, Korea Selatan, dan Jepang.

 

Negara-negara tersebut memiliki kesadaran yang berorientasi pada keunggulan daya saing dan produktivitas lewat pemerintah yang bersih, masyarakat yang disiplin dan industrialisasi yang ditangani orang-orang profesional. Intinya, harus ada investasi pada manusia sebagai modal di masa mendatang,” tutur Suyoto [4].

 

Dalam tataran global, Amerika Serikat (AS) bisa menjadi contoh dalam penerapan kepemimpinan dengan nalar ekologis. Theodore Roosevelt adalah presiden AS pertama yang secara sistematis memperjuangkan peran kepemimpinan presiden dan administrasi dalam pengelolaan lingkungan alam secara lestari. Dia menggunakan kursi kepresidenan untuk mewujudkan agenda konservasi progresif dalam pengelolaan lingkungan – terutama gagasan dalam pengelolaan sumber daya lingkungan yang efisien demi kepentingan umum yang lebih baik dari sekadar keuntungan pribadi [5]. Dia membentuk the Bureau of Reclamation and the Forest Service, menyisihkan jutaan hektare lahan publik untuk pengelolaan dan penggunaan secara permanen oleh badan pemerintah (dan juga beberapa taman nasional dan tempat perlindungan satwa liar), dan memperjuangkan pengelolaan sumber daya air publik. Model pengelolaan ini kemudian menjadi model dominan pengelolaan lingkungan sepanjang abad ke-20.

 

Contoh lain dapat kita lihat di negeri tetangga, Singapura, dimana peningkatan urbanisasi telah menyebabkan kehilangan tutupan hutan selama bertahun-tahun. Meskipun hal ini adalah salah satu dampak buruk pembangunan ekonomi di seluruh dunia, pemerintah Singapura telah melakukan upaya sadar untuk mengurangi tingkat keparahan yang timbul dari tutupan hutan yang habis dengan penanaman pohon, semak-semak, dan tanaman merambat untuk meningkatkan tutupan hijau di negara tersebut. Asal-usul gerakan penghijauan di Singapura dapat dilacak ke gerakan penanaman pohon yang diresmikan pada tahun 1963 oleh perdana menteri saat itu, Lee Kuan Yew. Dia melihat hal ini sebagai sarana untuk membedakan Singapura dengan negara-kota lain dan sebagai aspek kunci untuk menarik investasi. Hari penanaman pohon tahunan sejak saat itu menjadi kalender acara bagi pemegang jabatan politik di daerah masing-masing. Hal ini semakin menggarisbawahi komitmen resmi penanaman pohon di dalam negeri serta pengakuan yang diberikan terhadap pentingnya pohon.

 

Untuk memberi masukan lebih lanjut pada gerakan penghijauan, sebuah taman dan departemen rekreasi didirikan sebagai dewan perundang-undangan. Arti penting yang diberikan kepada lingkungan dapat dilihat pada langkah ini untuk mempercayakan suatu badan khusus untuk mempelopori gerakan ini dengan momentum yang lebih besar. Sebagai bagian dari strategi agensi, pohon tropis dengan tingkat pertumbuhan yang cepat dan yang dapat memberi kanopi digunakan untuk lebih meningkatkan tutupan hijau di atas pulau dalam waktu sesingkat mungkin. Varietas pohon yang ditaman memiliki karakteristik kasar dengan tipe kokoh dan bisa bertahan di iklim tropis selama bertahun-tahun dengan perawatan minimal [6].

 

Dalam konteks Indonesia, dengan momentum pilkada ini, saat dimana rakyat disodorkan oleh berbagai pilihan, nalar ekologis si calon dapat digugah dan memunculkan keinginan yang kuat untuk mewujudkannya. Kita sangat memerlukan pemimpin yang memiliki komitmen dan konsisten terhadap penyelesaian permasalahan lingkungan hidup. Pemimpin yang mampu mengakomodasi preferensi komunal yang menginginkan keharmonisan hidup, vertikal maupun horizontal. Mari kita kembali merenungkan tugas dan fungsi masing-masing kita, sesuai dengan relung dan amanat, baik sebagai insan profesi, lebih-lebih kesadaran sebagai manusia yang seutuhnya. Berbagai regulasi sudah disusun dengan niat baik, masyarakat sebagai aktor utama sudah mulai mendapat tempat di dalamnya. Tinggal bagaimana kita mampu menjaga kesucian dan niat tulus untuk berbuat sebaik-baiknya demi kelestarian lingkungan kita. Kalau kesadaran ini sudah tertanam permanen di diri kita, tentu tidak perlu kita melaksanakan saran KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) yang di dalam salah satu ceramahnya pernah menyampaikan sindiran bahwa “kalau Indonesia mau berubah, masing-masing kepalanya mesti dicopot, dan diganti dengan kepala yang baru”. Mari kita berbuat untuk Indonesia yang lebih baik. Salam lestari.

 

Referensi

 

[1] Jacob, T. 2004. Tragedi Negara Kesatuan Kleptokratis: Catatan di Senjakala. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

 

[2] Kompas (2017/07/05)

 

[3] Kartodihardjo, H. 2016. Diskursus dan Kebijakan Institusi–Politik Kawasan Hutan: Menelusuri Studi Kebijakan dan Gerakan Sosial Sumber Daya Alam di Indonesia. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, 13 Februari 2016, Auditorium Rektorat, Gedung Andi Hakim Nasoetion Institut Pertanian Bogor.

 

[4] Kompas (2016/12/20)

 

[5] Hays, S. P. 1999.  Conservation And The Gospel Of Efficiency. University of Pittsburgh Press. Pittsburgh.

 

[6] Hin, L. T. W., & Subramaniam, R. 2012. Government Initiatives to Provide Leadership in Environmental Management: The Singapore Experience. In D. R. Gallagher (Ed.), Environmental Leadership: A Reference Handbook (1st ed., pp. 140–147). SAGE Publishing. California.

0 Komentar

Type and hit Enter to search

Close